Pertemuan Kala Itu
Matahari begitu terik hari ini. Aku melepaskan helm yang sedang ku kenakan. Ku kibaskan rambutku yang sedikit kusut akibat perjalanan singkat yang ku lakukan tadi.
Sesekali mataku menjamah seluruh pemandangan yang ada di hadapanku saat itu. Sebuah kedai kopi dengan konsep ke-barat-baratan. Memiliki interior berwarna merah dengan perpaduan warna kayu etnic. Entah sejak kapan aku menyukai tempat itu. Tapi aku selalu suka berada di tempat kopi.
Aku mengeluarkan ponsel milikku yang ku taruh di saku jaket. Melihat sebuah notifikasi masuk darinya. Seseorang yang memiliki janji temu denganku siang itu. Aku membuka pesan itu, senyumku mengembang tipis. Ia sudah sampai lebih dulu ternyata dariku.
Aku mulai turun dari kendaraan roda dua yang ku kenakan, dan segera melangkah memasuki coffee shop yang memiliki interior pintu kaca berwarna merah. Mataku tertuju pada satu sosok yang melambaikan tangannya ke arahku dengan senyumnya yang mengembang. Walau ini adalah pertama kalinya aku dan dia bertemu, tapi entah kenapa dia tau bahwa yang baru saja memasuki area coffee shop itu adalah aku. Aku pun membalas senyumnya, dan segera menghampirinya.
"Hallo" ucapku seraya mengambil ancang-ancang posisi duduk di hadapan laki-laki yang saat itu mengenakan kaos lengan pendek berwarna hitam. Entah sejak detik ke berapa, tapi wajah itu sudah berhasil menghipnotisku. Tiba-tiba saja rasanya jantungku berdetak tak beraturan.
Sebelum percakapan siang itu di mulai, aku memutuskan untuk pergi ke toilet untuk sekedar mengatur nafasku yang tiba-tiba saja memendek. Entah, tapi rasanya begitu aneh. Aku mulai meninggalkannya sendiri, dan merapihkan diriku di toilet. Sesekali ku tarik nafas dalam-dalam untuk menetralkan hatiku saat itu.
Tak beberapa lama, aku kembali menghampiri laki-laki yang memiliki bola mata bermata hitam. Bola mata yang saat ini mampu menghipnotisku perlahan. Untungnya saja, aku bisa berakting seolah-olah aku baik-baik saja kala itu. Aku hanya tak ingin menampilkan bahasa tubuhku yang sejujurnya tak bisa ku kontrol.
Ia memesankan segelas kopi latte untukku. Dia begitu tau, jika kopi selalu menjadi bagian dari keseharianku. Mataku sesekali melihat ke arahnya yang sedang fokus dengan layar laptop yang berada di hadapannya saat itu. Sesekali aku menyembunyikan senyumku. "Ah, padahal ini pertama kalinya aku bertemu. Tapi kenapa rasanya sudah begitu aneh?".
Dadaku semakin tak bisa ku kontrol saat tubuhnya mendekat ke sampingku. Astaga, rasanya aku begitu takut jika ia bisa mendengarkan irama jantungku yang tidak menentu. Tapi sekali lagi, aku berusaha setenang itu, hanya untuk memastikan bahwa ia tidak curiga dengan gelagatku.
Obrolan ringan menghiasi pertemuan aku dengannya siang itu. Banyak cerita-cerita yang ia lontarkan, sembari menyelesaikan tugas akhir miliknya. Ku pikir, aku akan canggung bertemu dengan orang yang baru ku kenal dalam waktu yang menurutku singkat. Tapi ternyata tidak, ia begitu bisa mengajakku masuk ke dalam cerita-cerita yang ia miliki.
Sesekali ia selipkan obrolan mengenai seorang wanita yang sedang dekat dengannya. Sesosok wanita yang ku harap bisa terus membuatnya tersenyum dan melupakan masalalunya. Sesosok wanita, yang menurutnya, selalu cemburu denganku.
Haha..
Aku selalu tertawa mendengar kalimat itu. Entah hal apa yang membuat wanita itu harus menaruh rasa cemburunya terhadapku? Tapi, jika ku pikir lagi. Wajar saja jika wanita itu cemburu, kalau ia tau, aku mengagumi laki-laki yang sedang berada di hadapanku saat itu. Tapi, bukankah hingga sejauh ini aku masih terus berusaha menutupi rasa kagumku ini padanya? Ah, entahlah..
Aku cukup tau diri, dimana posisiku saat itu. Hanya saja, aku senang mengaguminya seperti ini. Bagiku, mendengarkan setiap inchi ceritanya saat ini menjadi satu hal yang ingin selalu ku lakukan. Jika ditanya, apakah aku cemburu? Mungkin saja, aku pun tidak tau. Sampai di titik ini, aku masih terus meyakinkan hati, apakah perasaanku benar-benar nyata untuknya? Bahkan ketika nanti ku temukan jawaban atas apa yang ku rasakan, mungkin saja aku sudah terlambat--.
Hari semakin petang, kami memutuskan untuk pindah ke tempat lain. Sebuah kedai Mie Aceh menjadi pilihan untuk kami singgah. Tak lama, hanya sekedar membuang waktu hingga malam tiba. Setelahnya, ia mengantarku pulang, dengan kendaraan yang kami bawa masing-masing. Sesekali aku tersenyum di balik masker yang ku kenakan. Melihat tubuhnya dari belakang saja sudah mampu membuatku tersenyum. Apalagi jika--, ah, sudahlah.. Ini baru pertama, mungkin akan ada pertemuan-pertemuan kami selanjutnya yang masih ku semogakan. Semoga saja.